Senin, 31 Maret 2014

Setelah Satu Tahun



Gua baru saja memarkir mobil tidak jauh dari pintu utama kafe yang sudah gua janjikan dengan Feni. Gua kembali melihat handphone untuk memastikan apakah ada pesan masuk atau tidak sembari berjalan menuju pintu kafe. Seperti biasa gua, datang lebih telat dari jam yang udah gua janjikan sebelumnya. Gua celingak-celinguk mencari Feni duduk dengan penuh konsentrasi sampai tanpa gua sadari kalau udah ada pelayan yang berada di depan gue. Gua kira dia mau ngusir gue karena penampilan gue yang lebih mirip gembel. Ditambah lagi gue yang langsung celingak-celinguk waktu masuk kafe itu seperti maling yang salah nyari tempat sembunyi.

“Permisi, kak, mau meja untuk berapa orang?” Tanya pelayan. Beruntung gue enggak langsung diusir sama pelayan.

“eh… buat…” belum selesai gua menjawab pelayan, gua lihat lambaian tangan feni menunjukan dia udah neglihat gue. “ah! Saya udah sama itu, mas.”

Gua pun jalan menghampiri Feni yang duduk sendirian. Mas-mas pelayan ngikutin gue dari belakang. Sepertinya dia bakal ngikutin apapun yang gue lakuin. Bahkan kalo gue belok ke kamar mandi pun dia tetep bakal ngikutin. Awalnya gue mereasa risih, tapi lama-lama niat iseng gue pun keluar. Gue pengen coba melakukan manufer ekstrim seperti koprol dengan satu tangan untuk mencoba seberapa cakap mas-mas itu bisa mengikuti gue. Tapi gue batalkan karena gue sendiri nggak bisa koprol.


Maklum saja, gue memang janjian di kafe yang harganya cukup mahal. Enggak semua anak muda nongkrong di sini. Apalagi anak kost yang bakal mati kelaparan kalau orang tua telat seminggu ngirimin uang saku. Nongkrong di kafe ini sekali berarti bakal makan mie diremukin dalam dua minggu ke depan. Tapi gua memang pengin yang special buat Feni. Gua nggak pengin ngobrol-ngobrol di tempat biasa kali ini. Bahkan gua udah menyiapkan semuanya sejak beberapa minggu sebelumnya. Salah satunya : minjem duit ke temen

“hei, Fen!” sapa  gua seperti biasa. Mas-mas pelayan pun memberikan daftar menu. “udah pesen belum?” Tanya gue ke Feni.

“Udah, kok.” Jawabnya lembut.

Sejenak gue memperhatikan tulisan-tulisan di daftar menu. Akhirnya gue memlih strawberry squash buat minuman pembuka gue. Pelayan pun meninggalkan gue setelah mencatat pesanan gue. tinggal gue berdua dengan Feni di meja itu.

Cukup lama gue diem aja memandangi Feni yang lagi ngutak-ngatik hapenya. Gua serasa sedang bernostalgia dengan masa lalu. Masa di mana gue nggak harus nunggu satu tahun untuk bisa ketemu ngobrol sama Feni. Tidak banyak yang berubah dari wajah Feni. Dia tetap memiliki tahi lalat di bawah bibirnya yang selalu membuat dia dibilang cerewet sama temen-temennya. Gue berasa malu setelah memperhatikan pakaiannya yang sangat rapi. Gaun yang dipakai terlihat sangat anggun. Beda dengan gue yang hanya pakai pakaian seadanya. Baju pun baru gue setrika tadi pagi. Sedangkan celana dan sepatu yang gue pakai sudah terlihat belel.

“Nontonin apaan, sih?” suara Feni menggagetkan gue yang sedang memperhatikannya secara seksama.

“Ah, enggak kok.” Gue nunduk, diem sesaat. Gua kembali mengangkat kepala gue, menghadap ke wajah Feni dan bilang “it have been one year since our last meeting.” Feni terlihat tersipu mendengar kalimat itu. Pipinya memerah, wajahnya dipalingkan sedikit ke arah kiri tanda malu untuk langsung menatap gue.

Atau jijik melihat wajah gue.

“nggak kerasa ya ternyata kita udah satu tahun enggak ketemu.” Katanya.

“NGGAK KERASA JIDAT LO!” kata gue dalam hati.

Gue harus nunggu satu tahun Cuma buat bisa ketemu sama Feni, dan dia bilang nggak kerasa. Dia nggak tahu gimana perasaan gua yang harus susah payah Cuma buat ketemu sama Feni. Tapi semua itu langsung termaafkan karena dia udah ada di depan gua.

“ternyata setelah satu tahun nggak ketemu, lo nggak jauh berubah, ya.” kata gue sedikit merayu. “elo tetep cantik seperti dulu.”

Feni kembali tersenyum mendengar rayuanku. “lo juga selama setahun nggak banyak berubah. Lo tetep kayak gembel, aja.”. suasana menjadi hening. Beruntung pelayan dateng bawa pesanan kami berdua. Gue berasa kaku untuk memulai kembali percakapan. Takut apa yanf gue sampaikan dibalas dengan hinaan.

“elo gimana sama pacar lo?” Feni mengawali pembicaraan. Kali ini dengan hal tidak menyenangkan.

“gue udah lumayan lama putus sama dia.” Jawab gue nggak bersemangat.

“oh. Maaf ya.” terlihat wajahnya bercampur antara kaget dan nggak enak mendengar jawaban gue. “kayaknya lo nggak pernah ada masalah apa-apa sama pacar lo, tiba- tiba elo udah putus sama dia.”

“satu tahun itu waktu yang cukup lama untuk ada banyak masalah, Fen.”. “selama itu, lah, elo enggak pernah tahu gimana hubungan gue.” gua menjelaskan ke Feni.

“elo sendiri gimana sama pacar lo?” gantian gue nanya ke Feni.

“baru beberapa bulan ini gue putus sama pacar gue.” gue nggak kaget sedikitpun mendengar jawabannya karena gue udah tahu sebelumnya. Pertanyaan itu hanya untuk basa-basi.

“Oh. Sorry ya. Gue nggak ada maksud buat…” belum selesai gue jawab, dia udah menimpali “Iya. Nggak papa kok. Gua juga baru saja melakukan hal yang sama ke elo.”

“berarti kita udah impas, kan?” kata Feni dengan sedikit senyuman di bibirnya. Gua hanya bisa membalas dengan senyuman juga.

“elo masih inget nggak dulu waktu terakhir kali kita keluar bareng.” Tanya Feni. Kali ini dia memulai pembicaraan dengan tepat.

“inget, lah!” jawab gue dengan semangat. “waktu itu elo ngira kalo gue belum bener nyetirnya, kan?”

“Tapi elo waktu itu elo emang belum bener-bener bisa nyetir, kan?”. “nyatanya elo hampir nabrak kakek-kakek naik sepeda.”. kita berdua tertawa terbahak-bahak. Bahkan ketawa gue kenceng banget sampe dilihatin orang-orang di dalem kafe. Feni ngingetin biar ketawa gue nggak kenceng-kenceng amat dengan nendang kaki gue. Gue beruntung Feni enggak nendang gue di muka.

“elo inget nggak waktu kita berdua makan, ada anak kecil imut dateng terus tiba-tiba gigit tangan lo?” gue kembali tertawa setelah Feni selesai ngomong. Ketawa gue kali ini enggak begitu kenceng karena udah sadar kalo gue engga Cuma berdua di sana. Gua lihat Feni terlalu senang bernostalgia dengan masa lalu. Terlihat betapa lepasnya dia tertawa. Seperti tidak ada lagi beban yang mengikatnya. Feni terlihat tidak takut kepergok seseorang kalo dia sedang pergi dengan cowok. Ataupun takut bakal dimarahin karena pergi terlalu lama. Dia terlihat benar-benar sedang melepaskan semua masalah di hidupnya. Nggak seperti terakhir kali kita berdua ketemu.

Belum selesai dia tertawa, dia udah mencoba buat bicara lagi “elo… elo masih inget nggak waktu itu elo sok-sokan minta uang kecil ke gue pake alasan kasirnya nggak punya kembalian, padahal emang duit elo kurang?” Feni nerusin ketawanya yang sempat terhenti karena harus ngomong lagi. Gue pun ketawa, tapi nggak selebar yang pertama.

Gua masih inget semua kejadian waktu itu. Gue inget dengan jelas. Gimana gue bisa lupa dengan pertemuan yang menyenangkan itu. Gimana gue lupa kejadian yang selalu gue puter terus dalam ingatan gue selama satu tahun terakhir. Gua Cuma nggak bisa bilang itu semua ke Feni.

“gimana kalo kita mulai pesen makan sekarang?”. Terlihat Feni mencoba kembali mengatur nafasnya dan gue memanggil pelayan untuk meminta daftar menu dan mulai memesan makan malam.

Dua jam waktu gue bareng Feni terasa begitu cepat. Nggak pernah gue berhenti menatap wajahnya. Gua nggak mau sedikitpun kehilangan waktu gue tanpa milihat wajahnya. Satu tahun gue menunggu untuk bisa bertemu kembali dengan Feni dan gua nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Bahkan gue nggak sadar gue hampir menghabiskan minuman ke dua gue.

Terlihat Feni membalikkan tangannya untuk melihat pukul berapa malam itu. Gue takut ini bakal menjadi tanda kalau Feni akan pulang. Benar saja apa yang gue takutkan.

“gue mau balik, ya?” tanya Feni. Meski terlihat seperti pertanyaan, gue ngga ada hak untuk melarangnya.

“mau balik sekarang? Yaudah, deh. Gua masih mau di sini dulu” jawab gue dengan basa-basi.

“pesenan gue habis berapa itu tadi?”

“udah, lah. Biar gue yang traktir lo malem ini.”

“Seriusan? Entar uang lo kurang lagi gimana?” Feni terkekeh setelah mengatakan itu.

“ye! Masih sempet ngeledek aja, lu.”

“yaudah, deh, gue balik dulu kalo gitu!”

“hati-hati di jalan, ya.”

Setelah bersalaman, dia mulai jalan ke arah pintu dan meninggalkan gue sendirian. Meninggalkan wangi tubuhnya yang masih hinggap di hidung gue bersama dengan kenangan di ingatan gue. Gue hanya bisa diam sendiri mengaduk kopi gue yang udah terlalu dingin untuk dihidangkan sambil memikirkan apakah gue harus menunggu satu tahun lagi untuk bisa ketemu dengan Feni. Dan memikirkan bagaimana cara gue membayar tagihan malam itu.

2 komentar:

  1. hehehe..bagus bih ceritanya,,,,,tapi penasaran sebenernya Feni itu siapa??mantannya kah atau gebetannya dulu??hihi

    BalasHapus
  2. wah, iya. terlalu fokus ke plotnya jadi lupa detil paling penting dalam cerita. terima kasih udah mengingatkan.

    BalasHapus