Gua baru saja
memarkir mobil tidak jauh dari pintu utama kafe yang sudah gua janjikan dengan
Feni. Gua kembali melihat handphone untuk memastikan apakah ada pesan masuk
atau tidak sembari berjalan menuju pintu kafe. Seperti biasa gua, datang lebih
telat dari jam yang udah gua janjikan sebelumnya. Gua celingak-celinguk mencari
Feni duduk dengan penuh konsentrasi sampai tanpa gua sadari kalau udah ada pelayan
yang berada di depan gue. Gua kira dia mau ngusir gue karena penampilan gue
yang lebih mirip gembel. Ditambah lagi gue yang langsung celingak-celinguk
waktu masuk kafe itu seperti maling yang salah nyari tempat sembunyi.
“Permisi, kak,
mau meja untuk berapa orang?” Tanya pelayan. Beruntung gue enggak langsung
diusir sama pelayan.
“eh… buat…”
belum selesai gua menjawab pelayan, gua lihat lambaian tangan feni menunjukan
dia udah neglihat gue. “ah! Saya udah sama itu, mas.”
Gua pun jalan
menghampiri Feni yang duduk sendirian. Mas-mas pelayan ngikutin gue dari
belakang. Sepertinya dia bakal ngikutin apapun yang gue lakuin. Bahkan kalo gue
belok ke kamar mandi pun dia tetep bakal ngikutin. Awalnya gue mereasa risih,
tapi lama-lama niat iseng gue pun keluar. Gue pengen coba melakukan manufer
ekstrim seperti koprol dengan satu tangan untuk mencoba seberapa cakap mas-mas
itu bisa mengikuti gue. Tapi gue batalkan karena gue sendiri nggak bisa koprol.
Maklum saja,
gue memang janjian di kafe yang harganya cukup mahal. Enggak semua anak muda
nongkrong di sini. Apalagi anak kost yang bakal mati kelaparan kalau orang tua telat
seminggu ngirimin uang saku. Nongkrong di kafe ini sekali berarti bakal makan
mie diremukin dalam dua minggu ke depan. Tapi gua memang pengin yang special buat
Feni. Gua nggak pengin ngobrol-ngobrol di tempat biasa kali ini. Bahkan gua
udah menyiapkan semuanya sejak beberapa minggu sebelumnya. Salah satunya :
minjem duit ke temen
“hei, Fen!”
sapa gua seperti biasa. Mas-mas pelayan
pun memberikan daftar menu. “udah pesen belum?” Tanya gue ke Feni.
“Udah, kok.”
Jawabnya lembut.
Sejenak gue
memperhatikan tulisan-tulisan di daftar menu. Akhirnya gue memlih strawberry
squash buat minuman pembuka gue. Pelayan pun meninggalkan gue setelah mencatat
pesanan gue. tinggal gue berdua dengan Feni di meja itu.
Cukup lama gue
diem aja memandangi Feni yang lagi ngutak-ngatik hapenya. Gua serasa sedang
bernostalgia dengan masa lalu. Masa di mana gue nggak harus nunggu satu tahun
untuk bisa ketemu ngobrol sama Feni. Tidak banyak yang berubah dari wajah Feni.
Dia tetap memiliki tahi lalat di bawah bibirnya yang selalu membuat dia
dibilang cerewet sama temen-temennya. Gue berasa malu setelah memperhatikan
pakaiannya yang sangat rapi. Gaun yang dipakai terlihat sangat anggun. Beda dengan
gue yang hanya pakai pakaian seadanya. Baju pun baru gue setrika tadi pagi.
Sedangkan celana dan sepatu yang gue pakai sudah terlihat belel.
“Nontonin
apaan, sih?” suara Feni menggagetkan gue yang sedang memperhatikannya secara
seksama.
“Ah, enggak
kok.” Gue nunduk, diem sesaat. Gua kembali mengangkat kepala gue, menghadap ke
wajah Feni dan bilang “it have been one year since our last meeting.” Feni
terlihat tersipu mendengar kalimat itu. Pipinya memerah, wajahnya dipalingkan
sedikit ke arah kiri tanda malu untuk langsung menatap gue.
Atau jijik
melihat wajah gue.
“nggak kerasa
ya ternyata kita udah satu tahun enggak ketemu.” Katanya.
“NGGAK KERASA
JIDAT LO!” kata gue dalam hati.
Gue harus
nunggu satu tahun Cuma buat bisa ketemu sama Feni, dan dia bilang nggak kerasa.
Dia nggak tahu gimana perasaan gua yang harus susah payah Cuma buat ketemu sama
Feni. Tapi semua itu langsung termaafkan karena dia udah ada di depan gua.
“ternyata
setelah satu tahun nggak ketemu, lo nggak jauh berubah, ya.” kata gue sedikit
merayu. “elo tetep cantik seperti dulu.”
Feni kembali
tersenyum mendengar rayuanku. “lo juga selama setahun nggak banyak berubah. Lo
tetep kayak gembel, aja.”. suasana menjadi hening. Beruntung pelayan dateng
bawa pesanan kami berdua. Gue berasa kaku untuk memulai kembali percakapan.
Takut apa yanf gue sampaikan dibalas dengan hinaan.
“elo gimana
sama pacar lo?” Feni mengawali pembicaraan. Kali ini dengan hal tidak
menyenangkan.
“gue udah
lumayan lama putus sama dia.” Jawab gue nggak bersemangat.
“oh. Maaf ya.” terlihat
wajahnya bercampur antara kaget dan nggak enak mendengar jawaban gue. “kayaknya
lo nggak pernah ada masalah apa-apa sama pacar lo, tiba- tiba elo udah putus
sama dia.”
“satu tahun itu
waktu yang cukup lama untuk ada banyak masalah, Fen.”. “selama itu, lah, elo enggak
pernah tahu gimana hubungan gue.” gua menjelaskan ke Feni.
“elo sendiri
gimana sama pacar lo?” gantian gue nanya ke Feni.
“baru beberapa
bulan ini gue putus sama pacar gue.” gue nggak kaget sedikitpun mendengar
jawabannya karena gue udah tahu sebelumnya. Pertanyaan itu hanya untuk
basa-basi.
“Oh. Sorry ya.
Gue nggak ada maksud buat…” belum selesai gue jawab, dia udah menimpali “Iya.
Nggak papa kok. Gua juga baru saja melakukan hal yang sama ke elo.”
“berarti kita
udah impas, kan?” kata Feni dengan sedikit senyuman di bibirnya. Gua hanya bisa
membalas dengan senyuman juga.
“elo masih
inget nggak dulu waktu terakhir kali kita keluar bareng.” Tanya Feni. Kali ini
dia memulai pembicaraan dengan tepat.
“inget, lah!”
jawab gue dengan semangat. “waktu itu elo ngira kalo gue belum bener nyetirnya,
kan?”
“Tapi elo waktu
itu elo emang belum bener-bener bisa nyetir, kan?”. “nyatanya elo hampir nabrak
kakek-kakek naik sepeda.”. kita berdua tertawa terbahak-bahak. Bahkan ketawa
gue kenceng banget sampe dilihatin orang-orang di dalem kafe. Feni ngingetin
biar ketawa gue nggak kenceng-kenceng amat dengan nendang kaki gue. Gue
beruntung Feni enggak nendang gue di muka.
“elo inget
nggak waktu kita berdua makan, ada anak kecil imut dateng terus tiba-tiba gigit
tangan lo?” gue kembali tertawa setelah Feni selesai ngomong. Ketawa gue kali
ini enggak begitu kenceng karena udah sadar kalo gue engga Cuma berdua di sana.
Gua lihat Feni terlalu senang bernostalgia dengan masa lalu. Terlihat betapa
lepasnya dia tertawa. Seperti tidak ada lagi beban yang mengikatnya. Feni
terlihat tidak takut kepergok seseorang kalo dia sedang pergi dengan cowok.
Ataupun takut bakal dimarahin karena pergi terlalu lama. Dia terlihat
benar-benar sedang melepaskan semua masalah di hidupnya. Nggak seperti terakhir
kali kita berdua ketemu.
Belum selesai
dia tertawa, dia udah mencoba buat bicara lagi “elo… elo masih inget nggak
waktu itu elo sok-sokan minta uang kecil ke gue pake alasan kasirnya nggak
punya kembalian, padahal emang duit elo kurang?” Feni nerusin ketawanya yang
sempat terhenti karena harus ngomong lagi. Gue pun ketawa, tapi nggak selebar
yang pertama.
Gua masih inget
semua kejadian waktu itu. Gue inget dengan jelas. Gimana gue bisa lupa dengan
pertemuan yang menyenangkan itu. Gimana gue lupa kejadian yang selalu gue puter
terus dalam ingatan gue selama satu tahun terakhir. Gua Cuma nggak bisa bilang
itu semua ke Feni.
“gimana kalo
kita mulai pesen makan sekarang?”. Terlihat Feni mencoba kembali mengatur
nafasnya dan gue memanggil pelayan untuk meminta daftar menu dan mulai memesan
makan malam.
Dua jam waktu
gue bareng Feni terasa begitu cepat. Nggak pernah gue berhenti menatap
wajahnya. Gua nggak mau sedikitpun kehilangan waktu gue tanpa milihat wajahnya.
Satu tahun gue menunggu untuk bisa bertemu kembali dengan Feni dan gua nggak
akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Bahkan gue nggak sadar gue hampir
menghabiskan minuman ke dua gue.
Terlihat Feni
membalikkan tangannya untuk melihat pukul berapa malam itu. Gue takut ini bakal
menjadi tanda kalau Feni akan pulang. Benar saja apa yang gue takutkan.
“gue mau balik,
ya?” tanya Feni. Meski terlihat seperti pertanyaan, gue ngga ada hak untuk
melarangnya.
“mau balik
sekarang? Yaudah, deh. Gua masih mau di sini dulu” jawab gue dengan basa-basi.
“pesenan gue
habis berapa itu tadi?”
“udah, lah.
Biar gue yang traktir lo malem ini.”
“Seriusan?
Entar uang lo kurang lagi gimana?” Feni terkekeh setelah mengatakan itu.
“ye! Masih
sempet ngeledek aja, lu.”
“yaudah, deh,
gue balik dulu kalo gitu!”
“hati-hati di
jalan, ya.”
Setelah
bersalaman, dia mulai jalan ke arah pintu dan meninggalkan gue sendirian.
Meninggalkan wangi tubuhnya yang masih hinggap di hidung gue bersama dengan
kenangan di ingatan gue. Gue hanya bisa diam sendiri mengaduk kopi gue yang
udah terlalu dingin untuk dihidangkan sambil memikirkan apakah gue harus
menunggu satu tahun lagi untuk bisa ketemu dengan Feni. Dan memikirkan
bagaimana cara gue membayar tagihan malam itu.
hehehe..bagus bih ceritanya,,,,,tapi penasaran sebenernya Feni itu siapa??mantannya kah atau gebetannya dulu??hihi
BalasHapuswah, iya. terlalu fokus ke plotnya jadi lupa detil paling penting dalam cerita. terima kasih udah mengingatkan.
BalasHapus